Sebenarnya
mata ini masih terasa berat ketika harus bangun pukul enam pagi untuk
ke pangkalan jeep yang sedianya akan membawa saya ke Lembah Bada.
Perjalanan selama empat belas jam dari Tana Toraja ke Tentena masih
menyisakan lelah.
Tubuh ini terasa remuk saat harus duduk di kursi
sempit dan keras di dalam bus tanpa penyejuk udara. Ibu Doris,
pemilik Losmen Victory di Tentena - tempat saya menginap, malamnya
sudah mengingatkan supaya besok pagi segera pesan tempat kalau tidak
ingin ketinggalan.
Sebenarnya mata ini masih terasa berat ketika harus bangun pukul enam pagi untuk
ke pangkalan jeep yang sedianya akan membawa saya ke Lembah Bada.
Perjalanan selama empat belas jam dari Tana Toraja ke Tentena masih
menyisakan lelah. Tubuh ini terasa remuk saat harus duduk di kursi
sempit dan keras di dalam bus tanpa penyejuk udara. Ibu Doris,
pemilik Losmen Victory di Tentena - tempat saya menginap, malamnya
sudah mengingatkan supaya besok pagi segera pesan tempat kalau tidak
ingin ketinggalan. Pasalnya, hanya ada dua mobil jeep dalam sehari
yang melayani rute Tentena-Lembah Bada. Itupun selalu penuh. Sebagai
jenis angkutan umum satu-satunya, Jeep Hard Top keluaran tahun 70-an
yang telah dimodifikasi itu dapat memuat sepuluh penumpang ditambah
barang-barang belanjaan penduduk pedalaman.
Setelah memesan tempat di Pangkalan yang jaraknya hanya puluhan meter dari
Losmen, saya masih sempat melihat-lihat keindahan Danau Poso dari
ujung jalan. Airnya yang jernih, berkilau ditimpa sinar matahari.
Semenjak pecahnya kerusuhan berbau SARA di Poso, hampir tidak ada
pelancong yang berkunjung ke sini. Semua penginapan di Tentena nyaris
tidak ada tamu, termasuk Losmen Victory dan kebetulan hanya saya yang
menjadi satu-satunya tamu malam itu. Walaupun tidak ada tamu, losmen
ini tampak bersih karena setiap hari tetap dibersihkan.
Di depan Losmen Victory, tertulis ‘Tourist Information Center’. Di
dinding ruang tamu tergantung papan yang berisi foto-foto keindahan
alam dan patung-patung megalitikum Lembah Bada. Cerita soal penembak
gelap bukan hal baru di Poso. Ibu Doris bercerita bahwa seorang
tamunya yang warga negara Italia, tewas di tangan penembak gelap
sewaktu dalam perjalanan menuju losmennya. Belum lagi cerita soal
ternak babinya yang habis dibantai oleh para perusuh.
“Tidak usah takut Pak, di sini sekarang sudah aman koq,” teriak Bu Doris
menenangkan. Saya pun bergegas meninggalkan losmen.
Lembah Bada merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi
Tengah. Lokasi yang berada diketinggian 1000 mdpl ini terdiri dari
empat belas desa yang penduduknya sebagian besar bercocok tanam.
Sebagai daerah penghasil beras, maka penduduknya dapat mencukupi
kebutuhan pokok itu sendiri. Daerah ini juga dikenal sebagai salah
satu penghasil Vanilli. Sejauh mata memandang akan disuguhi
pemandangan alam pegunungan dan hijaunya areal persawahan yang empat
puluh persen pengairannya bersumber dari Sungai Lariang. Sungai
terpanjang di Sulawesi.
Lokasinya termasuk daerah pedalaman yang terpencil. Dari Tentena, Kota
Kabupaten Poso, lima jam perjalanan harus ditempuh melalui jalur
perintis menembus hutan. Kondisi jalan tanah yang diperkeras dan
tanjakannya yang curam, hanya mampu dilalui oleh kendaraan sejenis
jeep berpenggerak roda empat. Kondisi jalan akan semakin parah saat
musim hujan. Selain jalannya menjadi berlumpur, waktu tempuhnya bisa
menjadi dua hari. Lebih sepuluh tahun lalu, pesawat perintis milik
para Missionaris masih melayani rute Tentena-Bada, namun sejak
sekitar tahun 1995 telah berhenti operasi. Jalur lain dapat diambil
melalui Kota Palu ke Gimpu dengan kendaraan umum selama tiga jam.
Kemudian dilanjutkan dengan ojek selama empat jam ke Gintu (Lembah
Bada). Atau seperti yang masih biasa dilakukan penduduk dengan
berjalan kaki melalui jalan setapak hutan Lore Lindu selama dua hari.
Di lembah Bada saya menginap di rumah Bapak Agus Tohama, penduduk
setempat yang biasa menjadi guide bagi para petualang. Di samping
rumahnya terdapat bangunan kayu berbentuk rumah panggung, beratapkan
jerami. Dengan jumlah kamarnya empat buah. Rumah panggung itu ia beri
nama ‘Homestay Barito’, sebuah bangunan hasil sumbangan
dari tamunya seorang turis Kanada. Kamar-kamar yang biasanya
disewakan kini kondisinya sudah agak rusak dan tidak terawat.
Rencananya akan direnovasi. “Sudah dua tahun terakhir tidak
digunakan lagi, tamupun sudah jarang,” ungkapnya. Sebagai seorang
guru SD, Pak Agus memiliki kemampuan Bahasa Inggris cukup baik. Ayah
dua orang anak ini biasa menjadi guide bagi para petualang yang
sebagian besar dari mancanegara. Di rumahnya tersimpan pula beberapa
literature tentang patung-patung Lembah Bada hasil penelitian para
arkeolog dari Eropa. Penelitian terhadap megalitikum Lembah Bada
sudah sering dilakukan, namun sampai saat ini arti daripada itu semua
hanyalah berupa dugaan saja.
Menjelajah kawasan Lembah Bada tidak cukup dilakukan dalam satu hari. Tidak ada
petunjuk arah maupun tanda-tanda khusus untuk menuju setiap lokasi
patung. Lokasinyapun dibiarkan apa adanya. Patung-patung Megalitikum
yang terbuat dari batu granit itu bentuknya sederhana namun anggun.
Bentuk tubuhnya memang tampak tidak sempurna. Patung laki-laki dan
perempuan bisa dibedakan dari simbol bentuk alat kelamin yang terukir
di tubuh patung. Posisinyapun berbeda-beda; ada yang berdiri tegak,
miring ke kanan, tidur telentang, dan tengkurap. Lokasinya yang
menyebar di beberapa desa, bisa ditemukan di semak-semak, areal
sawah, ladang, padang rumput, dan bahkan di aliran sungai.
Mencari lokasi patung, terbilang penuh perjuangan. Tak terhitung berapa kali
kulit tangan dan kaki tertusuk duri ketika melewati semak-semak,
menginjak kotoran hewan ternak di tanah yang becek, dan
berbasah-basahan saat harus menyeberangi Sungai Lariang. Belum lagi
kalau lokasi patungnya nangkring di area perkebunan, pasti
mendapatkan cacian dari si pemilik kebun karena tanahnya di
injak-injak. Bahkan sewaktu menuju lokasi Patung Manitu yang
tergeletak di aliran sungai, malah sempat tersasar. Seorang penunjuk
jalan yang paham lokasi, mutlak diperlukan. Untuk menuju satu lokasi
bukan perkara gampang, pasalnya penduduk setempat jarang yang
mengetahui secara pasti dimana letak patung-patung itu berada.
Patung-patung megalit Lembah Bada diperkirakan sebagai patung pemujaan para nenek
moyang dari suku-suku yang ribuan tahun lalu telah menetap di sini.
Semua patung di Lembah Bada tampak menghadap ke arah Barat, konon
mengarah ke sebuah patung berketinggian 3,5 m yang dinamakan Palindo.
Patung Palindo yang artinya penghibur ini dianggap sebagai raja.
Lokasinya disebuah padang rumput bernama Padang Seppe. Sebagai
ungkapan kegembiraan setelah menang perang antar suku, pesta hiburan
dilakukan di depan patung tersebut. Patung yang bentuknya kelihatan
unik adalah Patung Oba. Tingginya sekitar 70 cm. Bentuknya mirip
seekor Kera. Lokasinya yang kini ditengah sawah, konon dahulu adalah
sebuah kolam besar milik seorang kepala suku. Ikan-ikan yang ada di
kolam sering hilang dicuri orang. Kepala suku sangat marah mengetahui
miliknya hilang dicuri. Maka ia mengeluarkan kutukan kepada si
pencuri, yang akhirnya menjadi seekor Kera. Ada pula istilah Kalamba
dan Tutu’na. Sebuah bentuk jambangan besar dengan tutupnya ini
konon memiliki fungsi yang berbeda-beda; sebagai tempat untuk
menyimpan perhiasan, meletakkan tulang-belulang mayat, dan juga
sebagai tempat mandi keluarga raja. Sebagai wilayah agraris yang
subur, tanda-tanda itu sudah ada sejak dulu. Di semak-semak, satu
patung bernama Tinoe yang dianggap sebagai patung dewi padi tampak
masih utuh. Konon, dahulu dilokasi tersebut dilakukan pesta saat
panen padi. Sebuah rumah panggung peninggalan jaman Belanda masih
berdiri utuh. Di belakang rumah terdapat kuburan keluarga umat
Kristen pertama di Bada. Hanya dua meter dari kuburan tersebut,
berdiri Patung Taraeroi yang dianggap sebagai Dewa Perang. Tingginya
hanya sekitar 40 cm.
Sejak lama Lembah Bada terlanjur terkenal ke seluruh dunia. Keindahan
panorama alamnya yang spektakuler dan keberadaan peninggalan
Megalitikum menjadi daya tarik bagi para Arkeolog dan petualang untuk
menjelajah. Hal yang dilematis dihadapi oleh mereka ketika
mengunjungi patung yang letaknya di areal persawahan atau perkebunan.
Sering kali penduduk setempat protes ketika tanahnya diinjak.
“Seharusnya pemerintah daerah membantu pembebasan tanah di sekitar
areal patung,” seperti yang pernah diusulkan oleh Pak Agus saat
diadakan pertemuan dengan Pemda setempat.
Saat pamitan pulang, Pak Agus menawarkan saya untuk menjelajah rute
kawasan Lembah Besoa hingga Danau Lindu selama 5 hari, mudah-mudahan
suatu saat saya bisa kembali.
sumber:http://www.indobackpacker.com/
Cerita dari Lembah Bada
isky, Jumat, April 03, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar